Oleh: Kharis Nugroho, Lc.
Toleransi dalam Islam merupakan
pembahasan yang cukup penting untuk dikaji, karena banyak di kalangan
umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang tepat.
Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang
menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau dijadikan alasan
untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual
non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi dipakai oleh
sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan
program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah,
dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada
kerukunan antar umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan
terkorbankan.
Sebagai muslim, kita harus mengembalikan
hakikat toleransi dalam kacamata Islam. Sebab, istilah toleransi ini -
sebagaimana disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama karya
Dr Anis Malik Toha -, pada dasarnya tidak terdapat dalam istilah Islam,
akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon
dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang
khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu,
sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab
yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja,
beberapa kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan menggunakan
istilah “tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance” adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Sedangkan kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah.
Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan
kata-kata ini dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).
Dengan demikian, dalam mengkaji konsep toleransi dalam Islam, penulis merujuk kepada makna asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance
dalam bahasa Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan
tetapi, makna memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak
sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok
ukur Al-Qur’an dan Sunnah.
…Konsep toleransi dalam Islam dibentuk oleh ajaran Islam baik Al-Qur’an maupun al-Hadits. Sedangkan toleransi Barat dibentuk berdasarkan sejarah ataupun reaksi terhadap kondisi sosial dan politik…
Kalau kita mau melihat terbentuknya
konsep toleransi antara Islam dan Barat, maka akan kita dapatkan bahwa
motif terbentuknya konsep toleransi antar keduanya sangat berbeda.
Konsep toleransi dalam Islam dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri baik
berupa firman Allah (Al-Quran) ataupun sabda dan perilaku Rasulullah
SAW (al-Hadits). Sedangkan Barat, dibentuk berdasarkan sejarah ataupun
reaksi terhadap kondisi sosial dan politik.
Sebagai contoh, dalam sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut dengan “zaman kegelapan” (the dark age).
Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 H dan
mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam
masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Renaissance artinya rebirth (lahir
kembali), karena masyarakat Barat merasa bahwa ketika hidup di bawah
cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka seolah mengalami kematian.
Di “zaman kegelapan” inilah terjadi
banyak penyelewengan dan penindasan kepada rakyatnya dengan
mengatasnamakan agama. Penindasan yang terkenal paling jahat pada waktu
itu adalah, apa yang dilakukan oleh institusi Gereja dengan nama Inquisisi. Inquisisi adalah hukuman terhadap kaum heretic (kaum
yang di cap menyimpang dari doktrin resmi gereja). Karen Armstrong,
mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan institusi inquisisi
dalam sejarah sebagai berikut, “Sebagian besar kita tentunya setuju
bahwa salah satu dari institusi Kristen paling jahat adalah Inquisisi,
yang merupakan instrument terror dalam Gereja Katholik sampai dengan
akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja
Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik
di negara-negara mereka”.
Adapun bentuk kejahatannya, Robert Held dalam bukunya Inquisition, memaparkan
bahwa ada lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat
brutal yang digunakan oleh institusi gereja pada waktu itu, seperti
pembakaran hidup-hidup, pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh,
pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai
alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar
85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun
1459-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup
di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.
Dalam ajaran Yahudi, juga telah terjadi penyelewengan yang berujung kepada penindasan atas nama agama. Dalam Old Statement
(Kitab Perjanjian lama), dinyatakan bahwa sikap mereka terhadap
kelompok lain tidak hanya sebatas kebencian, pelaknatan dan
pengingkaran. Namun mereka juga diperintah untuk membumihanguskan
bangsa-bangsa lain, karena – menurut mereka – bangsa Yahudi adalah
bangsa pilihan (the Chosen People). Pemusnahan semua kelompok lain, menurut mereka adalah merupakan perintah Tuhan.
Dari peristiwa penyelewengan dan
penindasan atas nama agama inilah, kemudian pemikiran mengenai
pentingnya toleransi di Barat mulai timbul. Adalah John Locke figur yang
cukup terkenal dalam menelurkan ide toleransinya, yaitu dengan
menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama,
hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu
bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga,
pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah
keagamaan adalah masalah privat. Tiga doktrin inilah yang kemudian
membentuk doktrin toleransi di dunia Barat (negara-negara demokrasi
Barat).
…Toleransi (samahah) dalam Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam yang bersifat mengajak, bukan memaksa…
Adapun dalam Islam, toleransi (samahah)
merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Ketoleranan Islam mencakup
berbagai segi, baik dari segi akidah, ibadah, maupun muamalah. Dari segi
aqidah, Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak
ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur
dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa.
Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi)
berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka
tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena
membayar jizyah sebagai jaminannya.
Dalam masalah Ibadah, Islam juga
bersifat toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam bersifat
tidak membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin
berwudhu dan tidak ada air, maka Islam mempermudah cara berwudhu dengan
cara tayamum. Di dalam shalat, ketika seseorang tidak mampu berdiri,
maka boleh dengan duduk. Begitu juga puasa, ketika seseorang sedang
sakit, maka boleh di qadha. Sifat mempermudah dan tidak
membebankan seseorang inilah yang menjadi ciri khas bahwa Islam adalah
agama yang toleran dari segi ibadah.
Adapun dalam muamalah, Islam menyuruh
berbuat baik dalam bermasyarakat, baik itu kepada yang muslim atau
non-muslim. Misalnya, ketika seorang muslim mempunyai tetangga
non-muslim yang sedang membutuhkan bantuan, maka harus dibantu. Ketika
diberi hadiah, maka harus diterima. Begitu juga ketika ada tetangga
non-muslim sedang sakit, harus dijenguk. Itulah adab seorang muslim yang
harus dijaga dalam rangka membangun kerukunan antar umat beragama.
Permasalahannya adalah, ketika muamalah
dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka
banyak orang salah paham. Mereka mengira bahwa toleransi dalam masalah
keikutsertaan acara-acara non-muslim diperbolehkan dengan tujuan untuk
menciptakan kerukunan antar umat beragama. Padahal toleransi seperti ini
di dalam syariat terdapat dalil-dalil yang melarang, baik itu dari
Al-Qur’an, Al-Sunnah, maupun ijma ulama.
…ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka hal ini bisa dikategorikan dalam hal tolong menolong dalam dosa yang sudah jelas diharamkan...
Ketika muamalah dengan non-muslim ini
masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka hal ini bisa
dikategorikan dalam hal tolong menolong dalam dosa yang sudah jelas
diharamkan. Allah SWT telah melarang perbuatan tersebut sebagaimana
disebutkan di dalam salah satu ayat (yang artinya), Tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (Qs Al-Ma’idah 2). Dalam
memahami ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
Allah memerintahkan orang beriman untuk tolong menolong dalam kebaikan
dan meninggalkan kemungkaran. Allah juga melarang umat Islam saling
tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang haram. Ritual
non-Muslim adalah suatu amalan batil yang diharamkan oleh Allah SWT yang
menjadikan pelakunya berdosa. Oleh karena itu, keikutsertaan seorang
Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong menolong
dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan.
Selain itu, keikutsertaan ritual non-muslim dengan alasan toleransi juga tidak bisa dibenarkan secara syar’i karena seseorang tersebut tergolong telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfirman (yang artinya), Dan
janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah
kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.
Adapun toleransi antar umat beragama
dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap
toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara
umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal
ini Allah berfirman (yang artinya), Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).
Banyak hal yang bisa kita ambil
pelajaran dari ayat di atas dalam memahami sikap toleransi antar umat
beragama yang benar dalam Islam. Dalam memahami ayat di atas, Imam Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” maksudnya, Dia
tidak melarang kamu berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak
memerangimu karena masalah agama, seperti berbuat baik dalam masalah
perempuan dan orang lemah.
Selain itu, Imam al-Syaukani (1250 H) dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu
orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam
menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam
memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak
melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka.
Adapun sebab turunnya ayat ini
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya
al-Musnad dari Abdullah bin Zubair, Ia berkata: “Qatilah mendatangi
putrinya Asma’ binti Abu Bakar. Namun Asma’ enggan menerima hadiah dan
kedatangan perempuan (ibunya) itu ke rumahnya. Karena itu, Aisyah
menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi SAW. Maka Allah menurunkan
surat Al-Mumtahanah ayat 8-9. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan Asma’
untuk menerima hadiah dan kedatangan ibunya ke rumahnya”.
…berbuat baik kepada non-Muslim merupakan kewajiban, selama orang-orang
non-Muslim itu tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari negeri
mereka, serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari
negeri mereka…
Ini merupakan dalil bahwa berbuat baik
kepada non-Muslim merupakan kewajiban, selama orang-orang non-Muslim itu
tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari negeri mereka, serta tidak
membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari negeri mereka.
Bahkan Rasulullah SAW mengancam terhadap umatnya yang berbuat zalim
kepada non-Muslim yang sudah terikat perjanjian dengan umat Islam dengan
ancaman tidak masuk surga. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), Barangsiapa
yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam,
maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga
itu bisa dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan (di dunia) (H.R Bukhari).
Oleh karena itu, Nabi SAW bermuamalah
dengan orang Yahudi di Madinah dengan muamalah yang sangat baik. Dalam
masalah perdagangan, Beliau SAW pernah menggadaikan baju perangnya
kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm. Rasulullah juga menetapkan
perjanjian antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan kaum Yahudi.
Perjanjian itu antara lain berisi tentang perdamaian dengan kaum Yahudi,
sumpah setia mereka, serta mengakui keberadaan agama (bukan kebenaran
agama selain Islam) dan harta-harta mereka. Beliau SAW juga meminta
jaminan kepada mereka untuk menepati perjanjian mereka. Namun demikian,
sikap toleransi, harmonis, tolong menolong dan kerjasama antara umat
Islam dengan non-Muslim di sini hanyalah dalam masalah muamalah
keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah.
Dari paparan di atas, sangat jelas
sekali bagaimana ternyata pembentukan pola doktrin toleransi antara
Islam dengan Barat amatlah berbeda. Doktrin toleransi dalam Islam
tidaklah dibentuk oleh sejarah, melainkan merupakan bagian integral dari
warisan Islam. Berbeda halnya dengan Barat yang doktrin toleransinya
dibentuk oleh sejarah karena adanya abuse of power. Itulah sebabnya menyamakan doktrin toleransi Islam dengan doktrin toleransi yang ada di Barat tidaklah tepat.
…Toleransi antara Islam dengan Barat amatlah berbeda. Doktrin toleransi dalam Islam tidaklah dibentuk oleh sejarah, melainkan merupakan bagian integral dari warisan ajaran Islam. Sedangkan di Barat, doktrin toleransi dibentuk oleh sejarah karena adanya abuse of power…
Namun anehnya, saat ini proses overlapping
doktrin toleransi mulai muncul ke permukaan sehingga mengakibatkan
kerancuan dalam memahami makna toleransi yang benar menurut Islam. Dari
sinilah maka tidak tepat kalau ada umat Islam yang menggunakan kata
toleransi untuk mendukung eksistensi aliran sesat apalagi untuk
mendukung gerakan kristenisasi, karena toleransi semacam ini adalah
toleransi ala Barat yang tidak dibenarkan dalam Islam. Wallahu a’lamu bis-shawab.
*) Penulis adalah Alumnus Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Isy-Karima Jawa Tengah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan