Membicarakan masalah pemimpin adalah
sesuatu yang tidak pernah habis. Tidak terkecuali masa lalu, sekarang
dan akan datang. Pembicaraan mengenai pemimpin banyak dibahas dan
dianalisa dari berbagai sudut pandang yang bermacam-macam. Dalam
kesempatan ini kita akan membicarakan tentang pemimpin dalam perspektif
Islam.
Sebagai seorang muslim, sudah barang
tentu, Islam menjadi sumber acuan aktifitas, motifasi, inspirasi dan
landasan spiritual dalam menggerakkan roda kehidupan sosialnya. Karena
muara seluruh perjuangan/jihad seorang pemimpin atau masyarakat dalam
Islam tidak ditujukan kepada tujuan rendah seperti popularitas,
akumulasi ekonomi, prestise, kedudukan sosial, tetapi untuk
memperjuangkan kedaulatan Allah di bumi dengan mengamalkan syari’at-Nya.
Agar tercipta susana rahmat yang pernuh keadaban dan akhlakul karimah
dalam kehidupan sosial.
Keharusan Adanya Pemimpin
Dalam Islam adanya
pemimpin/amir/imam/khalifah dalam suatu komunitas masyarakat adalah
sesuatu yang wajib. Bahkan bagaimana Islam memandang penting pemimpin
dapat dilihat dalam hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, Nabi
SAW bersabda: ”Apabila keluar tiga orang untuk bersafar, maka angkat
satu di antaranya sebagai pemimpin.”
Hampir semua madzhab dalam Islam
bersepakat bahwa keberadaan khalifah adalah wajib hukumnya. Umat Islam
tidak bisa hidup tanpa adanya pemimpin. Bahkan Ibnu Taymiyyah
mengatakan: "penguasa yang dzalim adalah lebih baik daripada tidak ada
pemimpin sama sekali." dan ada juga pendapat mengatakan, "enam puluh
tahun bersama pemimpin yang jahat lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin. "
Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam
as-Sulthaniyyah mengatakan keharusan adanya pemimpin merupakan kewajiban
kolektif umat Islam. Artinya apabila orang yang berhak telah mengangkat
atau memangku jabatan khalifah maka gugurlah hukum wajib bagi muslimin
yang lain, sebaliknya jika tidak ada seorang pun yang menjalankan tugas
itu maka seluruh kaum muslimin berdosa.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa
tersebut hanya menimpa kepada dua golongan saja.
Pertama, ahlu ra’yi yaitu para cendekiawan sehingga mereka berhasil mengangkat seorang pemimpin.
Kedua, mereka yang memiliki syarat-syarat sebagai pemimpin, sampai terpilih satu di antara mereka. Sementara pendapat Syaikh Abdul Qadir Audah, (seorang hakim yang gugur dihukum gantung oleh penguasa dzalim Gamel abd Nasher), mengatakan dosa mengenai seluruh umat, karena seluruh kaum muslimin menjadi sasaran hukum syari’at. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa hukum tentang keharusan adanya khalifah ada dua yaitu wajib syar’i dan wajib ’aqli.
Pertama, ahlu ra’yi yaitu para cendekiawan sehingga mereka berhasil mengangkat seorang pemimpin.
Kedua, mereka yang memiliki syarat-syarat sebagai pemimpin, sampai terpilih satu di antara mereka. Sementara pendapat Syaikh Abdul Qadir Audah, (seorang hakim yang gugur dihukum gantung oleh penguasa dzalim Gamel abd Nasher), mengatakan dosa mengenai seluruh umat, karena seluruh kaum muslimin menjadi sasaran hukum syari’at. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa hukum tentang keharusan adanya khalifah ada dua yaitu wajib syar’i dan wajib ’aqli.
Wajib syar’i didasarkan atas enam hal: Pertama, khilafah adalah sunnah fi’liyyah yang telah digariskan oleh
rasul dengan amal perbuatan, sehingga kewajiban kaum muslimin untuk
melaksanakannya.
Kedua, kesepakatan para sahabat. Setelah
Rasulullah SAW meninggal para sahabat sepakat mengangkat penggantinya,
Abu Bakar, baru kemudian mereka memakamkan jasad Nabi SAW.
Ketiga, pelaksanaan hukum syari’at
secara formal tergantung pada khalifah. Hukum syari’at tidak memiliki
kekuatan apa-apa jika tidak dilaksanakan, oleh karenanya dibutuhkan
pemimpin untuk melaksanakannya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh
Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fahuwa wajibun (apabila tugas awajib
tidak sempurna kecuali suautu pekerjaan, maka melaksanakan pekerjaan itu
menjadi wajib hukumnya).
Keempat, nash al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan wajibnya mengangkat imam bagi jama’ah. (QS. An-Nisa’: 59)
Kelima, umat Islam hanya satu. Kaum
muslimin wajib bersatu dibawah bendera al-Qur’an dan haram bercerai
berai. (lihat QS. Ali Imran: 103&105, dan QS. Al-Anfal: 46)
Keenam, keharusan satu negara. Sebagai satu umat dan satu negara mereka hanya boleh mengangkat satu pemimpin.
Adapun wajib ’Aqli yaitu rakyat mustahil
dapat hidup sendiri-sendiri, mereka harus berkumpul dan bersatu, baik
dalam keadaan damai apalagi dalam keadaan darurat. Dalam kenyataannya
sering terjadi saling lomba, bersaing dan saling mengalahkan satu dengan
yang lain untuk merebut penghidupan sehingga menimbulkan permusuhan
dan pertumpahan darah. Untuk mencegah agar permusuhan dan pertumpahan
darah tidak terjadi diperlukan seorang pemimpin untuk menyelesaikannya.
Syarat-Syarat Pemimpin
Imam al-Mawardi menetapkan tujuh syarat bagi seorang khalifah atau pemimpin muslim, yaitu:
- Adil
- Berilmu sampai taraf mujtahid
- Sehat jasmani
- Cerdas
- Memiliki kemampuan untuk memimpin
- Berani berkorbnan untuk mempertahankan kehormatan dan berjihad dengan musuh
- Keturunan Quraisy
Ibnu Khaldun menetapkan syarat khalifah hanya empat, yaitu:
- Berilmu sampai taraf mujtahid
- Adil
- Kifayah atau memiliki kesanggupan bersiasah (berpolitik)
- Sehat jasmani dan rohani
Abdul Qadir Audah menetapkan syarat khalifah delapan syarat, yaitu:
- Islam. Diharamkan mengangkat pemimpin seorang kafir (QS. Ali Imran: 28) karena seorang kepala negara yang kafir tidak mungkin mau dan bisa melaksanakan hukum syariah yang menjadi tugas khalifah. Begitu juga diharamkan mengangkat orang kafir sebagai hakim karena di tangan hakim kekuasaan hukum ditegakkan (QS. An-Nisa’: 141)
- Pria. Wanita menurut tabiatnya tidak cakap memimpin negara, karena pekerjaan itu membutuhkan kerja keras seperti memimpin pasukan dan menyelesaikan berbagai persoalan.
- Taklif. Yaitu sudah dewasa, di mana jabatan khalifah adalah penguasaan atas orang lain.
- Ilmu Pengetahuan. Yaitu ahli dalam hukum Islam sampai bila mungkin mencapai taraf mujtahid. Bahkan dituntut mengetahui hukum internasional, traktat, dan perdagangan internasional, dan lain-lain.
- Adil. Yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat kemuliaan dan akhlakul karimah, terhindar dari sifat fasik, maksiat, keji dan munkar.
- Kemampuan dan Kecakapan. Yaitu di samping mampu mengarahkan umat dia juga mampu membimbing umat ke jalan yang benar sesuai dengan Syariat Islam.
- Sehat Jasmani dan Rohani. Yaitu khalifah tidak boleh buta, tuli, bisu, dan cacat.
- keturunan Quraisy. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini. Karena hadits yang mengatakan imam dari Quraisy selama mereka memerintah dengan adil. Ditujukan untuk maksud terbatas, yaitu waktu dan tempat terbatas. Jadi tidak berlaku secara umum.
Cara Pengangkatan Khalifah
Pengangkatan khalifah dianggap sah apabila melalui cara-cara di bawah ini:
- Melalui bay’at, yaitu pengangkatan dengan pernyataan taat setia yang dilakukan oleh orang-orang cerdik (ulama) yang terkemuka atau mereka yang tergabung dalam Ahlul Halli Wal Aqdi. seperti Abu abakar ketika diangkat melalui khalifah.
- Melalui istikhlaf, yaitu pengangkatan dengan cara penetapan dari khalifah atau pemimpin yang masih hidup terhadap penggantinya bila ia mati. Dalam hal ini dia boleh menetapkan satu orang atau beberapa orang kemudian mereka bermusyawarah untuk menetapkan satu di antara mereka menjadi khalifah. Sistem pengangkatan seperti ini sering disebut dengan syura.
- Melalui istilak, yaitu menguasai dan mengalahkan, maksudnya melalukan perebutan kekuasaan dengan kekuatan.
Tiga cara di atas menurut ulama fiqh
dipandang sah. Segala tindakan dan keputusannya yang sesuai dengan
syari’at Islam dipandang sah guna menjaga kemaslahatan umat. Bila tidak,
ini akan berakibat kepada kesulitan dan kekacauan kehidupan umat.
Bila cara-cara di atas dipandang sah
maka bila khalifah memerintahkan sesuatu yang sunnah, mentaatinya
menjadinya wajib. Bila yang diperintahkannya sesuatu yang mubah maka
melaksanakannya menjadi wajib. Dan bila melarang yang mubah
mengerjakannya menjadi haram. Kewajiban taat kepada khalifah dalam
hal-hal yang tidak melanggar hukum Allah SWT. (La Tha’ata li makhlukin fi ma’shiyatil Khaliq)
Bagaimana Kondisi Hari Ini?
Adalah sulit mengatakan kondisi hari ini
telah sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan oleh syariat. Sejak barat
menawarkan sistem pemerintahan sekuler, umat Islam sedunia hampir tidak
punya pilihan lain kecuali mengikuti sistem tersebut. Padahal sistem
pemerintahan Islam bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan sekuler
ibarat siang dengan malam. Satu dengan yang lain sangat berbeda secara
hakikat, tujuan, orientasi, dan mekanismenya.
Islam memandang hakikat kekuasaan
merupakan perpanjangan dari kedaulatan Allah SWT. Sedangkan sekular
mengatakan kedaulatan di tangan rakyat. Tujuan negara menurut Islam
dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah dan khalifah sebagai
penjaganya untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Sedangkan
pandangan sekuler, negara bertujuan untuk mencapai kesejahteraan manusia
yang digali dari pikiran, adat kebiasaan yang tumbuh dan hidup di
masyarakat. Begitu juga orientasi kepemimpinan dalam Islam merupakan
amanah dari Allah untuk mengatur dan membimbing manusia ke jalan yang
hak. Sedangkan kepemimpinan sekuler merupakan amanah rakyat yang
berfungsi untuk mengatur kehidupan agar tertib terlepas dari ikatan
akidah maupun moral dari penguasa. Selanjutnya mekanismenya juga sangat
jauh berbeda. Bila dalam Islam pengangkatan pemimpin tidak dilakukan
melalui cara pemilihan langsung dari rakyat, karena khalifah atau
pemimpin sifatnya sebagai pengganti Nabi SAW dalam memimpin umat, dan
mekanismenya dilakukan melalui lembaga syura atau Ahlul Halli wal ’Aqdi,
karenanya tidak layak diserahkan bulat-bulat kepada rakyat yang kurang
memiliki pengetahuan akan hukum-hukum syari’at. Sedangkan kepemimpinan
sekuler dilakukan melalui pemilihan langsung rakyat untuk menentukan
pemimpinnya. Sistem ini membutuhkan biaya besar untuk tampil sebagai
pucuk pimpinan bahkan harus suara rakyat melalui segala cara agar rakyat
mendukungnya. Ada yang mengatakan cara yang ditempuh pemimpin dalam
sistem demokrasi sama dengan berjudi. Setiap calon berkompetisi memasang
taruhan guna menarik simpati rakyat. Bila nasib mujur dengan didukung
oleh tim sukses maka ia akan memperoleh jabatan untuk memimpin
rakyatnya. Bila tidak menang/sial maka kerugian akan ditanggungnya
begitu juga para pendukungnya.
Inilah gambaran bahwa Islam memiliki
konsep kepemimpinan yang jelas, terang, dan dapat dipertanggungjawabkan
tidak hanya kepada rakyat, tapi lebih lagi kepada Allah SWT.
Penutup
Islam telah membimbing kita bahwa
kekuasaan yang kita miliki adalah bagian dari kekuasaanNya. Rusaknya
tatanan masyarakat, pokoknya, bukan disebabkan oleh masyarakat itu
sendiri, tapi ditentukan oleh pemimpinnya. Betapa pimpinan/ khalifah
adala dzillullah fil ardl (bayangan Allah di bumi). Seharusnya pemimpin
menyadari tugas yang diembannya begitu berat. Tetapi, kenyataannya
banyak yang tetap berlomba meraihnya dengan seribu macam cara.
Menggunakan berbagai muslihat untuk meyakinkan kepada para pemilih bahwa
dirinya layak dan memiliki syarat untuk dipilih jadi pemimpin.
Siapa yang mendapatkan amanah
kepemimpinan dari memintanya maka Allah tidak akan membantunya.
Sebaliknya siapa yang mendapatkan amanah kepemimpinan tanpa ia
memintanya maka Allah akan membantunya. Tapi tentunya pemimpin yang
memiliki tujuan untuk menegakkan dienullah di muka bumi ini.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan