Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kepada kita, kaum
muslimin untuk bersatu dan melarang kita berpecah belah. Allah Ta'ala
berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (QS. Ali Imran: 103)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar." (QS. Al-Anfal: 46)
Bahkan
kewajiban bersatu yang diperintahkan Islam kaum kepada muslimin sangat
berkaitan erat dengan perintah-perintah dalam Islam itu sendiri yang
wajib mereka tegakkan dan jalankan. Sementara persatuan tidak bisa tegak
kecuali dengan adanya kepeminpinan. Kaum muslimin wajib mengangkat
salah seorang dari mereka untuk memimpin mereka dan mengatur kehidupan
mereka untuk menjalankan syariat agama mereka. Karena itulah kewajiban
menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan Islam termasuk kewajiban agama. Di
mana kemashalatan manusia berkaitan dengan agama dan dunianya tidak
akan terealisir kecuali dengannya.
Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu
berkata, "Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama'ah, tidak
ada jama'ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan
ketaatan. Maka siapa yang diangkat menjadi pemimpin oleh kaumnya karena
keilmuan dan agamanya, maka itu menjadi kehidupan baginya dan kaumnya.
Dan barangsiapa yang diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin atas
pertimbangan selain itu, maka itu menjadi kehancuran baginya dan
kaumnya." (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dari Tamim al-Daari
dalam Jami-u bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1/63, juga Ad Darimi dengan sanad
lemah).
Kaum muslimin wajib mengangkat salah seorang dari mereka untuk memimpin mereka dan mengatur kehidupan mereka untuk menjalankan syariat agama mereka.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: Harus diketahui bahwa mengatur urusan
manusia termasuk kewajiban dien yang paling agung, bahkan dien dan dunia
tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan. Dan sesungguhnya
kemaslahatan Bani Adam (manusia) tidak akan sempurna kecuali dengan
berkumpul di antara mereka, karena satu sama lain saling membutuhkan.
Dan saat mereka berkumpul haruslah memiliki pemimpin sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: "Apabila tiga orang melakukan perjalanan hendaknya mereka
mengangkat salah seorangnya menjadi pemimpin." (HR. Abu Dawud dari
hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad, dari Abdullah bin Amr, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: "Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah gurun,
kecuali mereka mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin) atas
mereka."
Maka beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mewajibkan mengangkat seorang pemimpin dalam sebuah perkumpulan paling
kecil (3 orang) dan paling sebentar dalam perjalanan, untuk mengingatkan
wajibnya mengangkat pemimpin untuk seluruh perkumpulan lainnya." (Dari
perkataan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah)
Beliau rahimahullah
melanjutkan: Dan karena Allah Ta'ala telah mewajibkan amar ma'ruf dan
nahi munkar, dan semua itu tidak bisa sempurna kecuali dengan kekuatan
dan kepemimpinan (kekuasaan), seperti itu juga semua yang telah Dia
wajibkan berupa jihad, keadilan, menegakkan haji, perkumpulan, shalat
Ied, dan menolong orang yang terdzalimi, serta menegakkan hudud; yang
semua itu tidak bisa sempurna kecuali dengan kekuatan dan keamiran.
Karena inilah diriwayatkan, "Bahwa sultan (pemimpin) adalah naungan
Allah di bumi." Dan dikatakan: "Enam puluh tahun bersama pemimpin jahat
lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin"." (Perkataan Ibnu
Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah)
Karena itulah kewajiban menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan Islam termasuk kewajiban agama. Di mana kemashalatan manusia berkaitan dengan agama dan dunianya tidak akan terealisir kecuali dengannya.
Maka
yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah dien (ajaran
dien), qurbah (sarana mendekatkan diri kepada Allah), karena mendekatkan
diri kepada Allah dalam kepemimpinan dengan mentaati Allah dan
Rasul-Nya merupakan bentuk mendekatkan diri yang paling utama. Karena
itulah DR. Abdullah al-Mushlih dan DR. Shalah Shawi dalam Maa Yasa' al-Muslima Jahluhu menulis:
"Kita
meyakini bahwa kepemimpinan agung (khilafah) termasuk bagian terbesar
dari tujuan dan kewajiban yang ingin diwujudkan oleh agama. Khilafah
berfungsi sebagai pengganti peran kenabian dalam menjaga dien ini dan
mengatur dunia. Dan orang Islam belum lepas dari tanggungjawab ini
sehingga kalimat mereka bersatu untuk mengangkat seorang imam yang
mengatur mereka dengan Kitabullah (Syariat Islam)." Hal ini didasarkan
kepada firman Allah Ta'ala:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya."
(QS. Al-Nisa': 58) Konteks ayat ini, bahwa khitab dalam ayat tersebut
bersifat umum yang mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat, di
antaranya amanat hukum. Umat Islam berkewajiban melaksanakan amanat ini
kepada ahlinya dan menyerahkanya kepada siapa yang akan menegakkannya
dengan benar.
Isyarat ini juga terdapat pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Tidak
halal bagi tiga orang yang berada di tanah gurun, kecuali mereka
mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin) atas mereka." (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mewajibkan untuk mengangkat seorang amir dalam sebuah perkumpulan kecil
yang bersifat temporer pada waktu bepergian untuk mengingatkan kita
akan semua jenis perkumpulan. Apabila terhadap tiga orang yang berada di
suatu gurun saja disyariatkan, tentunya terhadap jumlah yang lebih
besar yang mereka tinggal di kampung-kampung dan kota-kota yang sangat
membutuhkan seseorang untuk melindungi mereka dari berbagai kedzaliman
adalah lebih disyariatkan lagi.
Dalil yang paling kuat dalam pembicaraan ini adalah dalil ijma'. Para sahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berijma' atas wajibnya imamah (kekhilafahan) dan merekapun bersegera
untuk mengakkan kewajiban ini. Mereka lebih mengutamakan masalah ini
atas pemakaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang dianggap masalah paling urgen saat itu. Sehingga Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Tidak
ada khilaf di tengah-tengah umat dan ulama dalam hal itu (kewajiban
imamah), kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang memang Asham
(tuli) dari syariat."
Dalil
lain tentang kewajban imamah adalah banyaknya kewajiban-kewajiban
syariat yang tidak bisa direalisasikan tanpa adanya pemerintahan Islam,
seperti menegakkan hudud dan mengimplementasikan hukum-hukum Islam,
menjaga perbatasan, menyiapkan dan mengirim pasukan, menjaga keamanan,
mengangkat hakim dan lainnya. Mana saja kewajiban tidak bisa sempurna
kecuali dengan keberadaannya, maka iapun menjadi wajib. Terlebih, dari
sisi urgensinya untuk mencegah bahaya besar yang terjadi di
tengah-tengah kesemprawutan dan vakumnya pemerintah Islam, maka perintah
mewujudkan kepemimpinan Islam menjadi sangat wajib. Mewujudkannya
menjadi tuntutan syariat yang sangat urgen. Karenanya, tidak ada alasan
untuk meninggalkannya dan meremehkan kewajiban ini.
Imam Ali radliyallahu 'anhu
berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat."
Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi
bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa
ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i
bisa dibagi." (Selesai dari Maa Laa Yasa' al-Muslima Jahluhu)
Banyak kewajiban-kewajiban syariat yang tidak bisa direalisasikan tanpa adanya pemerintahan Islam, seperti menegakkan hudud dan mengimplementasikan hukum-hukum Islam, menjaga perbatasan, menyiapkan dan mengirim pasukan, menjaga keamanan, mengangkat hakim dan lainnya.Mana saja kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka iapun menjadi wajib.
Siapa Pemimpin Tersebut?
Para
pemimpin Islam yang wajib ditegakkan kaum muslimin adalah pemimpin yang
menegakkan Al-Qur'an dan Sunnah, dan menerapkan syariat Islam dalam
mengatur rakyatnya. Yang karena itulah mereka mendapatkan hak besar
untuk didengar dan ditaati rakyatnya, di mana rakyat tidak boleh
menentang dengan senjata dan memberontak terhadapnya, walaupun dia itu
banyak berbuat maksiat, dzalim, dan fasik selain kekufuran. (Lihat:
Al-Wajiz: Intisari aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Abdullah bin Abdul
Hamid al-Atsari: 192-193)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: "Engkau dengarkan dan taati pemimpinmu, walaupun punggungmu
dipukul dan hartamu dirampas, maka dengarkan dan taatilah." (HR. Muslim
no. 1847)
Dalam
sabdanya yang lain, "Siapa yang benci kepada suatu (tindakan)
pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar. Karena sesungguhnya tiada
seorangpun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari pemimpinnya
kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan ia mati dalam keadaan
jahiliyah." (HR. Muslim no.1894)
Dalam
riwayat Muslim lainnya (no. 1855), "Dan jika kalian melihat dari
pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah
perbuatannya (saja), dan janganlah keluar dari ketaatan kepadanya."
Syaikhul
Islam berkata: Orang yang memberontak kepada pemimpin pasti menimbulkan
kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan akibat perbuatannya."
(Minhajus Sunnah, dinukil dari catatan kaki al-Wajiz: 194)
Kemudian
beliau mengatakan, "Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syariat
Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya, bahkan berhukum dengan
selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum muslimin.
Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya." (Minhajus Sunnah:
I/146, dinukil dari Al-Wajiz: 194)
Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syariat Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya, bahkan berhukum dengan selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum muslimin. Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya. (Ibnu Taimiyah)
Kenapa Pemimpin Seperti Itu Tidak Wajib Lagi Mendapatkan Ketaatan Dari Kaum Muslimin?
Hal
tersebut karena dia telah menyia-nyiakan maksud tujuan kepemimpinannya
yang untuk itulah dia diangkat dan mempunyai hak untuk didengar
ucapannya dan ditaati perintahnya serta tidak boleh keluar dari
pemerintahan yang sah. Karena seorang penguasa tidak berhak mendapatkan
itu semua melainkan karena dia mengerjakan urusan-urusan kaum muslimin,
menjaga agama dan menyebarkannya, menegakkan hukum dan memperkokoh
tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh, menumpas orang yang
menentang Islam setelah didakwahi, memberikan loyalitasnya kepada kaum
muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama. Jika dia tidak menjaga agama
atau tidak melaksanakan urusan kaum muslimin, maka berarti hilanglah hak
kepemimpinannya, dan wajib bagi rakyat –melalui Ahlul Halli Wal 'Aqdi berhak
melakukan penilaian dalam masalah tersebut- untuk menurunkan jabatannya
dan mengangkat orang lain yang mampu merealisasikan tujuan
pemerintahan.
Maka
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin
hanya karena disebabkan kezaliman dan kefasikannya saja –karena
kefajiran dan kezaliman tidak berarti mereka menyia-nyiakan agama-, tapi
masih berhukum dengan syariat Allah. Karena Salafush Shalih tidak
mengenal suatu keamiran (kepemimpinan) yang tidak menjaga agama, maka
ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran. Akan tetapi yang
dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama. Kemudian setelah
itu terjadi keamiran yang baik atau keamiran yang fajir. Imam Ali radliyallahu 'anhu
berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat."
Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi
bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa
ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i
bisa dibagi." (Dari Kitab Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah: I/146, dinukil
dari Al-Wajiz, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 194-195)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan