Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Urgensi Kepemimpinan Dalam Islam
Banyak kewajiban dalam Islam yang
bersifat jama'i. Artinya tidak bisa ditegakkan kecuali dengan
bersama-sama, seperti shalat ied, shalat Jum'at, jihad, hudud, dan
lainnya. Dan dalam menjalankan kebersamaan itu dibutuhkan persatuan dan
kebersamaan. Sehingga untuk teralisirnya kewajiban-kewajiban tersebut,
Islam memerintahkan untuk bersatu dan berjama'ah.
Allah Ta'ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (QS. Ali Imran: 103)
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ
أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
"Dia telah mensyariatkan kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya." (QS. Al-Syuuraa: 13)
Syaikh al-Sa'di rahimahullah setelah
menjelaskan tentang kemuliaan dien Islam ini sebagai dien terbaik yang
sesuai dengan kondisi, tuntutan fitrah, menjadi ruh kebahagiaan, maka
beliau berkata, "oleh karenanya Dia berfirman { tegakkanlah agama },
maksudnya: dia memerintahkan kepada kalian untuk menegakkan seluruh
syariat dien, ushul (pokok)-nya dan cabangnya, kalian tegakkan pada diri
kalian sendiri dan kalian bersunggug-sungguh menegakkanya untuk selain
kalian, saling bantu membantu dalam kebaikan dan takwa, dan tidak saling
membantu dalam perkara dosa dan permusuhan. { dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya }, maksudnya: agar terwujud kesepakatan kalian
dalam perkara ushul (pokok) dien ini dan cabangnya, berusahalah agar
persoalan-persoalan yang ada tidak memecahbelah kalian dan mencerai
beraikan kalian dalam banyak kelompok . . ."
Perintah bersatu atas kaum muslimin
tersebut tidak akan bisa tegak kecuali dengan adanya kepemimpinan.
Sehingga kaum muslimin wajib mengangkat salah seorang dari mereka untuk
memimpin dan mengatur kehidupan mereka guna menjalankan syariat agama
mereka. Karena itulah kewajiban menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan
Islam termasuk kewajiban agama. Di mana kemashalatan manusia berkaitan
dengan agama dan dunianya tidak akan terealisir kecuali dengannya.
Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu
berkata, "Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama'ah, tidak
ada jama'ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan
ketaatan. Maka siapa yang diangkat menjadi pemimpin oleh kaumnya karena
keilmuan dan agamanya, maka itu menjadi kehidupan baginya dan kaumnya.
Dan barangsiapa yang diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin atas
pertimbangan selain itu, maka itu menjadi kehancuran baginya dan
kaumnya." (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dari Tamim al-Daari
dalam Jami-u bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1/63, juga Ad Darimi dengan sanad
lemah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Harus diketahui bahwa mengatur urusan manusia termasuk kewajiban dien
yang paling agung, bahkan dien dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya
kepemimpinan. Dan sesungguhnya kemaslahatan Bani Adam (manusia) tidak
akan sempurna kecuali dengan berkumpul di antara mereka, karena satu
sama lain saling membutuhkan. Dan saat mereka berkumpul haruslah
memiliki pemimpin sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: "Apabila tiga orang melakukan perjalanan hendaknya mereka
mengangkat salah seorangnya menjadi pemimpin." (HR. Abu Dawud dari
hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad, dari Abdullah bin Amr, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: "Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah gurun,
kecuali mereka mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin) atas
mereka."
Maka beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mewajibkan mengangkat seorang pemimpin dalam sebuah perkumpulan paling
kecil (3 orang) dan paling sebentar (dalam perjalanan), untuk
mengingatkan wajibnya mengangkat pemimpin untuk seluruh perkumpulan
lainnya." (Dari perkataan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah)
Beliau rahimahullah
melanjutkan: Dan karena Allah Ta'ala telah mewajibkan amar ma'ruf dan
nahi munkar, dan semua itu tidak bisa sempurna kecuali dengan kekuatan
dan kepemimpinan (kekuasaan), seperti itu juga semua yang telah Dia
wajibkan berupa jihad, keadilan, menegakkan haji, perkumpulan, shalat
Ied, dan menolong orang yang terdzalimi, serta menegakkan hudud; yang
semua itu tidak bisa sempurna kecuali dengan kekuatan dan keamiran.
Karena inilah diriwayatkan, "Bahwa sultan (pemimpin) adalah naungan
Allah di bumi." Dan dikatakan: "Enam puluh tahun bersama pemimpin jahat
lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin"." (Perkataan Ibnu
Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah)
Maka yang wajib adalah menjadikan
kepemimpinan sebagai sebuah dien (ajaran dien), qurbah (sarana
mendekatkan diri kepada Allah), karena mendekatkan diri kepada Allah
dalam kepemimpinan dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya merupakan bentuk
mendekatkan diri yang paling utama. Karena itulah DR. Abdullah
al-Mushlih dan DR. Shalah Shawi dalam Maa Yasa' al-Muslima Jahluhu menulis:
"Kita meyakini bahwa kepemimpinan agung
(khilafah) termasuk bagian terbesar dari tujuan dan kewajiban yang ingin
diwujudkan oleh agama. Khilafah berfungsi sebagai pengganti peran
kenabian dalam menjaga dien ini dan mengatur dunia. Dan orang Islam
belum lepas dari tanggungjawab ini sehingga kalimat mereka bersatu untuk
mengangkat seorang imam yang mengatur mereka dengan Kitabullah (Syariat
Islam)." Hal ini didasarkan kepada firman Allah Ta'ala:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya."
(QS. Al-Nisa': 58) Konteks ayat ini, bahwa khitab dalam ayat tersebut
bersifat umum yang mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat, di
antaranya amanat hukum. Umat Islam berkewajiban melaksanakan amanat ini
kepada ahlinya dan menyerahkanya kepada siapa yang akan menegakkannya
dengan benar.
Isyarat ini juga terdapat pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Tidak
halal bagi tiga orang yang berada di tanah gurun, kecuali mereka
mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin) atas mereka." (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mewajibkan untuk mengangkat seorang amir dalam sebuah perkumpulan kecil
yang bersifat temporer pada waktu bepergian untuk mengingatkan kita
akan semua jenis perkumpulan. Apabila terhadap tiga orang yang berada di
suatu gurun saja disyariatkan, tentunya terhadap jumlah yang lebih
besar yang mereka tinggal di kampung-kampung dan kota-kota yang sangat
membutuhkan seseorang untuk melindungi mereka dari berbagai kedzaliman
adalah lebih disyariatkan lagi.
Dalil yang paling kuat dalam pembicaraan ini adalah dalil ijma'. Para sahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berijma' atas wajibnya imamah (kekhilafahan) dan merekapun bersegera
untuk mengakkan kewajiban ini. Mereka lebih mengutamakan masalah ini
atas pemakaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang dianggap masalah paling urgen saat itu. Sehingga Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Tidak
ada khilaf di tengah-tengah umat dan ulama dalam hal itu (kewajiban
imamah), kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang memang Asham
(tuli) dari syariat."
Dalil lain tentang kewajban imamah
(kepemimpinan Islam) adalah banyaknya kewajiban-kewajiban syariat yang
tidak bisa direalisasikan tanpa adanya pemerintahan Islam, seperti
menegakkan hudud dan mengimplementasikan hukum-hukum Islam, menjaga
perbatasan, menyiapkan dan mengirim pasukan, menjaga keamanan,
mengangkat hakim dan lainnya. Mana saja kewajiban tidak bisa sempurna
kecuali dengan keberadaannya, maka iapun menjadi wajib. Terlebih, dari
sisi urgensinya untuk mencegah bahaya besar yang terjadi di
tengah-tengah kesemprawutan dan vakumnya pemerintah Islam, maka perintah
mewujudkan kepemimpinan Islam menjadi sangat wajib. Mewujudkannya
menjadi tuntutan syariat yang sangat urgen. Karenanya, tidak ada alasan
untuk meninggalkannya dan meremehkan kewajiban ini.
Imam Ali radliyallahu 'anhu
berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat."
Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi
bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa
ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i
bisa dibagi." (Selesai dari Maa Laa Yasa' al-Muslima Jahluhu)
Siapa Pemimpin Tersebut?
Para pemimpin Islam yang wajib
ditegakkan kaum muslimin adalah pemimpin yang menegakkan Al-Qur'an dan
Sunnah, dan menerapkan syariat Islam dalam mengatur rakyatnya. Yang
karena itulah mereka mendapatkan hak besar untuk didengar dan ditaati
rakyatnya, di mana rakyat tidak boleh menentang dengan senjata dan
memberontak terhadapnya, walaupun dia itu banyak berbuat maksiat,
dzalim, dan fasik selain kekufuran. (Lihat: Al-Wajiz: Intisari aqidah
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 192-193)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: "Engkau dengarkan dan taati pemimpinmu, walaupun punggungmu
dipukul dan hartamu dirampas, maka dengarkan dan taatilah." (HR. Muslim
no. 1847)
Dalam sabdanya yang lain, "Siapa yang
benci kepada suatu (tindakan) pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar.
Karena sesungguhnya tiada seorangpun dari manusia yang keluar sejengkal
saja dari pemimpinnya kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan
ia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim no.1894)
Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 1855),
"Dan jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian
sukai, maka bencilah perbuatannya (saja), dan janganlah keluar dari
ketaatan kepadanya."
Syaikhul Islam berkata: Orang yang
memberontak kepada pemimpin pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar
daripada kebaikan akibat perbuatannya." (Minhajus Sunnah, dinukil dari
catatan kaki al-Wajiz: 194)
Kemudian beliau mengatakan, "Adapun
pemimpin yang tidak mengindahkan syariat Allah Ta'ala dan tidak berhukum
dengannya, bahkan berhukum dengan selainnya, maka dia telah keluar dari
cakupan ketaatan kaum muslimin. Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk
taat kepadanya." (Minhajus Sunnah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz: 194)
. . . Salafush Shalih tidak mengenal suatu keamiran (kepemimpinan) yang tidak menjaga agama, maka ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran.Akan tetapi yang dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama. . .
Kenapa Pemimpin Seperti Itu Tidak Wajib Lagi Mendapatkan Ketaatan Dari Kaum Muslimin?
Hal tersebut karena dia telah
menyia-nyiakan maksud tujuan kepemimpinannya yang untuk itulah dia
diangkat dan mempunyai hak untuk didengar ucapannya dan ditaati
perintahnya serta tidak boleh keluar dari pemerintahan yang sah. Karena
seorang penguasa tidak berhak mendapatkan itu semua melainkan karena dia
mengerjakan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan
menyebarkannya, menegakkan hukum dan memperkokoh tempat yang
dikhawatirkan mendapat serangan musuh, menumpas orang yang menentang
Islam setelah didakwahi, memberikan loyalitasnya kepada kaum muslimin
dan memusuhi musuh-musuh agama. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak
melaksanakan urusan kaum muslimin, maka berarti hilanglah hak
kepemimpinannya, dan wajib bagi rakyat –melalui Ahlul Halli Wal 'Aqdi berhak
melakukan penilaian dalam masalah tersebut- untuk menurunkan jabatannya
dan mengangkat orang lain yang mampu merealisasikan tujuan
pemerintahan.
Maka Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin hanya karena disebabkan kezaliman dan kefasikannya saja –karena kefajiran dan kezaliman tidak berarti mereka menyia-nyiakan agama-, tapi masih berhukum dengan syariat Allah. Karena Salafush Shalih tidak mengenal suatu keamiran (kepemimpinan) yang tidak menjaga agama, maka ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran. Akan tetapi yang dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama. Kemudian setelah itu terjadi keamiran yang baik atau keamiran yang fajir. Imam Ali radliyallahu 'anhu berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat." Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i bisa dibagi." (Dari Kitab Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 194-195). . . Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin hanya karena disebabkan kezaliman dan kefasikannya saja, tapi masih berhukum dengan syariat Allah. . .
Tiada ulasan:
Catat Ulasan