Jumaat, 2 September 2011

Ketiadaan Khilafah, 'Idil Fitri 1432 H Berpotensi Berbeda Lagi, ....Haruskah?

Islam hadir bermula sejak lebih 13 abad yang lalu. Agama yang Allah swt turunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril as, untuk mengatur setiap sendi kehidupan manusia di muka bumi, baik dalam urusan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara makanan dan minuman, pakaian, dan juga akhlak. Atau pun aturan yang mengatur urusan hubungan manusia dengan sesamanya dalam perkara muamalah dan persangsian serta aturan yang mengatur urusan hubungan manusia dengan penciptanya yakni Allah swt dalam perkara ibadah.


Dalam perkara ibadah, kita tentu mengenal ada dua jenis ibadah, yakni ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya seperti masalah sholat, zakat, haji, shaum, umrah, mandi hadast, dll. Sedangkan Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya, dzikir, tolong menolong dan lain sebagainya.


Berkaitan dengan masalah Shiyam (puasa) dan Sholat ’Ied baik sholat ’Ied Fitri maupun sholat ’Ied Adha adalah termasuk ke dalam jenis ibadah mahdah yang berarti dalam pelaksanaan ibadah tersebut berdasarkan tuntunan baik di dalam al qur’an, as sunnah, serta yang ditunjukan oleh keduanya tadi yakni ijma’ sahabat dan qiyas syar’i. Artinya adalah setiap pelaksanaan ibadah mahdah tersebut wajib hukumnya untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil syara’ di atas.


Namun memang para ’ulama berbeda pendapat dalam beberapa masalah tertentu dalam menghukumi sebuah fakta. Ini terjadi karena adanya perbedaan dalam metode penggalian (tharîqah al-istinbath) hukum tersebutIni disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.


Salah satunya terjadi pada saat menentukan tarikh 1 Ramadhan, dan tarikh 1 syawal. Kita tentu sudah sering menyaksikan banyaknya terjadi perbedaan masalah ini baik di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya, termasuk di tanah arab sendiri.
Hal ini sebenarnya bukan masalah yang baru, para ’ulama terdahulu juga berbeda dalam menyikapi hal ini. Pun termasuk di dalamnya para Imam Madzhab.
Saya tidak akan membahas terlalu detail masalah ini, karena sudah banyak kitab-kitab fiqih yang membahas perbedaan ini ataupun kitab-kitab yang meluruskan perbedaan tersebut salah satunya kitab al jami’ li ahkam a shiyam.


Tahun ini, 2011 atau 1432 dengan kalendar Hijriah, kita wajib bersyukur karena majoriti umat Islam se-Dunia termasuk di Indonesia mengawali 1 Ramadhan 1432 H secara serempak. Walaupun metode dalam menetapkan 1 Ramadhan 142 H yang lalu dengan metode berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode ilmu hisab, metode rukyat lokal, metode rukyat global, termasuk dengan metode wilayatul hukmi sebagaimana yang yang berlaku di sebagian besar negeri-negeri muslim maupun negeri barat.


Namun, tahun ini tampaknya umat Islam akan kembali mengalami perbedaan dalam menetapkan kapan 1 syawal. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin, dalam acara Taushiyah MUI menyambut Idul Fitri 1432 H, di Sekretariat MUI Jl Proklamasi. Beliau mengatakan bahwa ”Bagi yang berpatokan kepada rukyatul hilal, pasti sulit melihat hilal. Sedangkan disisi lain ada yang berpandukan pada wujudul hilal. Makanya Lebaran berpotensi berbeda," Kata beliau.


Ada beberapa kriteria penentuan awal bulan hijriyah, yaitu rukyatul hilal, wujudul hilal, imkanur rukyat dan rukyat global. Keempat kriteria itu kadang menghasilkan ketetapan awal bulan yang berbeda, meskipun sama-sama menetapkan ada bulan (hilal) saat matahari terbenam. Bahkan, kriteria yang sama belum tentu menghasilkan ketetapan yang sama, misal karena perbedaan tempat acuan (tempat melihat bulan).


Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.


Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset) maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.


Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan mengamati bulan dengan ketentuan bulan telah berada di atas ufuk saat matahari terbenam, dengan ketinggian bulan minimal antara 2 hingga 8 derajad. Ketentuan tinggi minimal bulan sabit ini terkait dengan bisa tidaknya dilihat oleh teropong atau mata.


Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.


Apakah Harus Selalu (Boleh) Berbeda?
Sebagaimana yang kita fahami bersama bahwa Umat Islam adalah umat yang satu (al ummah al wahidah), memiliki tuhan yang satu yakni Allah swt, Rasul yang satu yakni Muhammad saw, kitab yang satu yakni Al Qur’an, serta kiblat yang satu yakni ka’bah.


Rabb (Tuhan) kita satu yaitu Allah SWT
Umat Islam hanya mempercayai satu Tuhan yang mencipta alam semesta ini.Tuhan yang wajib disembah, diagungkan dan ditaati perintahnya dan dijauhi larangannya, dan hanya kepadanya mereka menggantungkan segala urusan. Tuhan yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa". (QS. Al-Ikhlas [112] : 1)
Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. (QS. Al-Ikhlas [112] : 2)


Kitab kita satu yakni Al Qur’an
Umat Islam mempercayai Al Qur'an sebagai pedoman hidup, yang mengatur seluruh urusan mereka. Didalamnya terdapat hukum-hukum yang menyelesaikan segala urusan.Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan diantara mereka, maka mereka kembalikan kepada Al Quran untuk mendapatkan penyelesaian masalahnya. Dan mereka akan menerima keputusan itu dengan penuh kerelaan. Allah SWT berfirman:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl [16] : 89)


Nabi kita satu yakni Muhammad SAW
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hashr [59] : 7)


Qiblat kita satu yaitu Ka'bah Baitullah
Umat Islam menjadikan Ka'bah sebagai kiblat yang menyatukan hati-hati mereka. Semua umat Islam menghadap ke kiblat ketika mengerja kan shalat sebagai ibadah yang paling utama dalam Islam. Di manapun mereka berada,mereka harus menghadapkan wajahnya ke arah ka'bah baitullah yang suci. Dan pada setiap musim haji umat Islam dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong mendatangi tempat ini untuk menyambut seruan Allah kepada mereka dengan melakukan ibadah haji. Dan bagi mereka yang tidak mendatangi tempat ini karena tidak ada biaya dapat mengerjakan shalat 'Ied di tempat mereka masing-masing dengan menghadap ke tempat yang sama sebagai ungkapan kebersamaan. Allah SWT berfirman yang artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf,dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. (QS. Al-Hajj [22] : 26)
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamudengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj [22] : 27)


Kepemimpinan kita juga satu yakni Khilafah
“Islam menjadikan kaum muslimin sebagai umat yang satu, menyatukan mereka dalam satu negara, memberikan satu imam bagi mereka guna memerintah negara yang satu dan umat yang satu tersebut, yang bertugas menegakkan Islam dan mengendalikan berbagai urusannya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Islam.” (Dr. Abdul Qodir Audah, Al Islam wa Audho’unaa As Siyaasiyah, hal. 278, Muassasah Ar Risalah, 1981)


Namun mengapa kita tidak bersatu ketika memulai puasa dan ketika berhari raya yang sama namun waktunya kadang-kadang tidak bersatu? Jawabannya adalah karena ketiadaan seorang pemimpin bagi seluruh kaum muslim. Seorang pemimpin yang disebut sebagai khalifah. Seorang khalifah yang memerintah seluruh umat Islam se dunia, serta menyatukannya dalam satu ikatan yang kokoh yakni ikatan aqidah Islamiyyah dalam bingkai sebuah sistem kenegaraan yang disebut sebagai sistem Khilafah Islamiyyah.


Ketiadaan khilafah menyebabkan umat Islam menjadi terkotak-kotak atas nama ide nasionalisme yang sekaligus menjadi pengikat di antara bangsa yang ada di dalam negara-negara tersebut. Sehingg berimbas pula pada penetapan awal Ramadhan dan awal 1 syawal yang berbeda, sehingga umat Islam selalu berbeda dalam memulai puasa dan berhari raya.


Sistem Khilafah Akan Menyatukan Umat
Seorang khalifah memang tidak berhak dan boleh mengadopsi persoalan ibadah. Sebagaimana yang juga tercnatum dalam mukadimah ad dustur yang dikarang oleh Syaik Taqiyudin an Nabhani. Pasal 4 Rancangan UUD itu berbunyi: Khalifah tidak mengadopsi hukum syariah tertentu dalam ibadah, kecuali zakat dan jihad, serta apa saja yang menjadi keharusan untuk menjaga persatuan kaum Muslim. Khalifah juga tidak mengadopsi ide apa pun yang berkaitan dengan akidah Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 19).


Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang bersifat khilafiyah dalam persoalan ibadah. Khalifah juga tidak mengadopsi ide-ide tertentu yang terkait dengan akidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Muktazilah atau aliran Wahabi (Salafi).
Imam an-Nabhani menyatakan sikap Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 19).


Dapat dibayangkan, andaikata Khalifah mengadopsi satu hukum tertentu dalam persoalan ibadah atau mengadopsi suatu aliran akidah tertentu, akan banyak masalah yang harus dihadapi Khalifah. Misalnya, munculnya rasa tidak senang dari rakyat kepada Khalifah. Ketidakpuasan rakyat ini dapat berkembang ke arah sikap pembangkangan rakyat yang tentu tidak baik bagi stabilitas negara.


Sebagai contoh, andai Khalifah mengadopsi pendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah (seperti wudhu, shalat, puasa, dsb) adalah bid’ah. Umat pun dilarang oleh Khalifah untuk melafalkan niat. Apa yang akan terjadi? Pasti di antara umat Islam ada yang tersinggung dan sangat keberatan dengan pelarangan oleh Khalifah itu, meski memang ada ulama yang berpendapat melafalkan niat itu bid’ah (Abdat, Risâlah Bid’ah, hlm. 175). Akan timbul pro-kontra yang merusak kerukunan umat karena sebagian umat yang tidak terima akan menjawab bahwa melafalkan niat bukanlah suatu bid’ah. (Harmi dkk, Kiai NU Tidak Berbuat Bid’ah, hlm. 15).


Contoh lain, jika Khalifah mengadopsi pendapat Wahabi (Salafi) bahwa ayat-ayat sifat tidak boleh ditakwilkan. Kelompok Wahabi tidak membenarkan pemahaman penganut Asy’ariyah yang menakwilkan “tangan Allah” (yadulLâh) sebagai “kekuasaan Allah” (qudratulLâh) (QS al-Fath [48] : 10). Penganut Wahabi pun sering menganggap penganut Asy’ariyah sebagai kelompok sesat, meski paham Asy’ariyah itu sesungguhnya didasarkan pada pemahaman lughawi dan pemahaman syar’i yang kuat. Jika Khalifah mengadopsi paham Wahabi ini, pasti di antara umat Islam ada yang tidak terima disebut sesat atau menyimpang.


Di sinilah kita dapat mengerti bahwa memang lebih bijaksana dan lebih tepat kalau Khalifah tidak mengadopsi baik itu menyangkut hukum-hukum tertentu yang khilafiyah dalam masalah ibadah maupun menyangkut ide-ide tertentu yang berkaitan dengan akidah. Khalifah cukup melakukan pengawasan secara umum (isyraf ‘âm) kepada masyarakat dan mencegah tindakan saling membid’ahkan atau mengkafirkan di antara anggota masyarakat.


Namun, Imam An-Nabhani menegaskan, bahwa ketika Khalifah tidak mengadopsi, bukan berarti mengadopsi itu haram bagi Khalifah, namun artinya ialah Khalifah memilih untuk tidak mengadopsi. Sebab, mengadopsi suatu hukum asalnya adalah mubah bagi Khalifah. Jadi Khalifah boleh mengadopsi dan boleh tidak mengadopsi. Namun, Imam an-Nabhani lebih cenderung agar Khalifah tidak mengadopsi. Bunyi pasal 4 di atas redaksinya adalah: Khalifah tidak mengadopsi…” dan bukannya, “Khalifah haram mengadopsi…” (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 20).


Alasan Memilih Tidak Mengadopsi
Lalu apa alasannya Imam an-Nabhani lebih cenderung agar Khalifah tidak mengadopsi? Ada dua alasan yang dikemukakan beliau. Pertama: karena adopsi dalam hukum-hukum ibadah dan ide yang berkaitan dengan akidah dapat menimbulkan haraj (rasa sempit di dalam hati). Padahal Islam tidak menghendaki adanya kesempitan dalam mengamalkan ajaran Islam, sebagaimana firman Allah SWT:


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78).


Kedua: karena adopsi seperti itu menyalahi fakta adopsi. Sebab, adopsi itu berada pada interaksi antarsesama manusia, bukan pada interaksi antara manusia dengan Allah SWT. Adopsi itu faktanya terkait dengan hukum-hukum muamalah atau ‘uqûbât, yang memang akan menimbulkan konflik dan sengketa di antara individu masyarakat jika tidak diatur dengan hukum yang sama.
Adapun hukum-hukum ibadah dan juga ide yang berkaitan dengan akidah, faktanya adalah pengaturan interaksi antara manusia dengan Allah SWT, bukan interaksi antarsesama manusia. Jika ada perbedaan hukum, relatif tidak akan menimbulkan konflik atau sengketa di antara individu masyarakat.
Berdasarkan dua alasan itulah, yang lebih tepat adalah Khalifah itu hendaknya tidak mengadopsi (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 21).


Pengecualian
Meski sikap yang lebih baik adalah Khalifah tidak mengadopsi, namun ada pengecualiannya, yaitu boleh saja Khalifah mengadopsi hukum-hukum ibadah atau ide yang berkaitan dengan akidah dalam rangka untuk memelihara persatuan umat, meskipun dapat menimbulkan rasa sempit di dalam hati (haraj) dan menyalahi fakta adopsi.


Pengecualian ini karena adanya tarjîh (pengunggulan) pada nash-nash yang qath’i (pasti), yaitu nash yang qath’i tsubût (pasti penetapannya) dan qath’i dalâlah (pasti pengertiannya). Nash qath’i seperti ini lebih kuat daripada nash yang tak menghendaki adanya kesempitan dalam agama Islam. Misalnya, nash qath’i yang mewajibkan kaum Muslim bersatu dengan ikatan Islam dan melarang mereka untuk bercerai-berai (QS Ali ‘Imran [3]: 103). Nash qath’i ini lebih râjih (kuat) daripada nash yang tak menghendaki rasa sempit dalam agama Islam (QS Al-Hajj [22]: 78).


Maka dari itu, sebagai pengecualian, boleh Khalifah mengadopsi hukum-hukum ibadah tertentu, seperti hukum-hukum jihad dan zakat, demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam. Sulit dibayangkan negara Khilafah dapat memungut zakat secara optimal dari umat Islam kalau Khilafah tidak mengadopsi hukum-hukum tertentu dalam masalah zakat. Khalifah juga boleh mengadopsi kesatuan awal puasa Ramadhan, kesatuan pelaksanaan haji, juga kesatuan Idul Fitri dan Idul Adha, dalam rangka untuk memelihara persatuan kaum Muslim. Fakta menunjukkan bahwa perbedaan hari raya sering menimbulkan suasana tidak nyaman bahkan permusuhan di antara anggota masyarakat, atau bahkan di antara sesama anggota keluarga yang kebetulan berbeda mazhab. Mereka terbukti lebih senang dan lebih berbahagia jika Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari yang sama. Maka sudah selayaknya, Khalifah nanti mengadopsi kesatuan 'Idil Fitri dan 'Idil Adha bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Dan Khalifah mempunyai hak melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegislasikannya menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini dilaksanakan Khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil ijtihad. Maka ketika Khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib menaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan : Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah).                        


(M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268)......WalLâhu a’lam.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan