Khamis, 1 September 2011

Benarkah Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Menafikan Jihad Offensive?

Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada penutup para Nabi kepada keluarganya para shahabatnya dan yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du:
Telah dipublikasikan saat perjumpaan dengan salah seorang peneliti yang mulia di sebuah surat kabar dimana beliau memastikan bahwa risalah “Kaidah memerangi orang kafir” merupakan tulisan asli Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan bukti bahwa sebagian telah menyalinnya dan tidak mengingkari penisbatannya kepada Syeikhul Islam, kemudian menyimpulkan darinya – sebagaimana dia katakan -: “bahwa Syeikhul Islam rahimahullah menyimpulkan dari risalah beliau yang penting diatas dan yang dijelaskan didalamnya: bahwa memerangi orang kafir bukan karena kekafiran mereka semata, namun untuk membentengi agama, yakni bahwa Islam pada dasarnya defensive bukan offensive!”.
Kami tidak membantah kebenaran penisbatan risalah ini atau tidaknya kepada Syeikhul Islam, karena perkara ini berdasarkan bukti-bukti, yang diperselisihkan dari sudut pandang para peneliti. Akan tetapi kami mengingkari pemahaman keliru terhadap ucapan Syeikhul Islam bahwa beliau tidak mengakui adanya jihad offensive”!! dan perkiraan saya masalah itulah yang membuat sebagian ulama mengingkari penisbatan risalah tersebut kepada beliau -dengan keras- untuk menghalangi pemahaman seperti ini yang dipopulerkan oleh para da’i modern di zaman ini, dan mereka secara dusta menisbatkannya kepada Syeikhul Islam rahimahullah.
Sebagian ulama yang menafikan keaslian risalah ini berdasarkan kepada beberapa perkara yang patut direnungkan:
Pertama: Para peneliti mengamati telah terjadi banyak kedustaan dan pemalsuan terhadap Syeikhul Islam rahimahullah baik dalam beberapa risalah maupun fatwa beliau, baik dari musuh-musuh beliau yang begitu banyak atau mereka yang ingin mempopulerkan pemikiran mereka dengan memanfaatkan kredibilitas Syeikhul Islam yang besar, sebagaimana telah dinisbatkan kepada beliau contohnya: Diwan Sya’ir, doa khatam Al-Qur’an, fatwa kehidupan Khidir, fatwa tentang menjisimkan sifat yang dikarang oleh Ibnu Bathutah...dan lain-lain, yang membuat orang yang netral tidak tergesa-gesa menisbatkannya kepada Syeikhul Islam rahimahullah selama belum dipastikan, apalagi risalah ini telah diingkari oleh Kibar Ulama zaman ini, yang dipelopori Syeikh Sulaiman bin Samhan, dan dua mufti besar Kerajaan Saudi: Syeikh Muhammad bin Ibrahim dan Syeikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahumullahInsya Allah. sebagaimana akan dibahas berikutnya
Maka bagi siapa yang ingin membuktikan keaslian sebuah risalah setelah ini untuk memastikan: adanya sanad kepada Syeikhul Islam, atau adanya tulisan tangan beliau, atau kesaksian murid-murid beliau atau yang menggeluti kitab-kitab beliau, namun hal itu belum pernah terwujud –sepengetahuan saya- sampai sekarang.
Kedua: Siapa saja yang menyelami risalah beliau menemukan ada semacam pengeditan ulang atau ringkasan didalamnya, karena ditemukan ibarat seperti ini yang diulang-ulang diantara halamannya, ”kemudian beliau menyebutkan” atau ”kemudian beliau mengatakan” dan ”sampai perkataannya”. (Lihat hal: 119, 125, 127, 128, 136, 137 dari naskah Al-Faqi).
Sehingga Syeikh Muhammad bin Mani’ rahimahullah memberi catatan kaki pada naskahnya ketika melewati tempat-tempat ini: ”bisa diambil faedah darinya bahwa ucapan tersebut telah diringkas”1
Ketiga: Bahwa Syeikhul Islam rahimahullah memiliki pendapat lain dalam sebagian risalah beliau yang asli yang menyelisihi apa yang dipahami sebagian dalam risalah ini, yaitu beliau mengingkari jihad offensive, akan disampaikan sebagiannya Insya Allah.
Jadi, sebagian yang membuktikan keasliannya dan merasa puas dengannya! Menyangka bahwa Syeikhul Islam tidak mengakui adanya jihad offensive dalam risalah ini. Dan mereka yang mengingkari risalah tersebut hendak menolak sangkaan keliru yang bertentangan dengan nas-nas syariat dan bertentangan dengan perkataan Syeikhul Islam yang lain.
Yang benar – menurut sangkaan saya – katanya: bahwa meskipun seandainya risalah ini terbukti otentik2, maka didalamnya tidak ada yang menafikan jihad offensive sebagaimana dibayangkan sebagian yang tidak memahami maksud Syeikhul Islam darinya, hingga mereka mencampuradukkan antara kedua perkara.
Karena Syeikhul Islam telah menyusun risalah ini untuk membantah satu pendapat fikih yang lemah yang dikatakan para shahabat beliau bahwa memerangi orang kafir adalah karena kekafiran mereka, oleh karena itu mereka berpendapat setiap kafir boleh dibunuh baik yang mampu berperang maupun lemah, baik yang berdamai maupun harbi, baik para biarawan maupun bukan, baik orang tua maupun pemuda, dan tidak dikecualikan dari itu selain anak kecil karena mereka belum baligh, demikian juga wanita, karena mereka menjadi tawanan secara otomatis setelah dikuasai, jadi mereka seolah seperti harta rampasan.
Oleh karena itu beliau rahimahullah menjelaskan pada permulaan risalah ini alasan menulisnya:
”Fasal mengenai memerangi orang kafir”
Apakah sebabnya mereka menyerang atau hanya karena kekafiran mereka?
Dalam hal itu ada dua pendapat masyhur dari para ulama:
Pertama: Pendapat Jumhur, seperti Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan lainnya.
Kedua: Pendapat Syafi’ie barangkali disertai alasan sebagian sahabat Imam Ahmad.
Mereka yang mengambil pendapat kedua mengatakan: Jadi berdasarkan dalil yang ada boleh membunuh setiap kafir, baik laki maupun wanita, baik mampu berperang atau tidak, baik mereka berdamai maupun harbi, tapi dikecualiakan bahwa hukuman bunuh berlaku bagi orang yang baligh, sehingga anak-anak tidak boleh dibunuh karena itu. Adapun wanita menurut dalil mereka boleh dibunuh, tetapi tidak dibunuh karena mereka menjadi tawanan secara otomatis ketika dikuasai, mereka tidak dibunuh karena merupakan harta rampasan bagi kaum muslimin sebagaimana bangunan tidak dihancurkan jika dikuasai.
Berdasarkan pendapat ini: para biarawan dan selainnya boleh dibunuh karena adanya kekafiran, yaitu karena Allah mengkaitkan hukum bunuh karena kemusyrikannya dalam firman-Nya: (Maka bunuhlah kaum musyrikin) maka wajib membunuh setiap musyrik, sebagimana diharamkan sembelihannya dan menikahinya semata karena kemusyrikannya. Sebagaimana wajib dibunuh setiap yang mengganti agamanya karena telah menggantinya, meskipun bukan termasuk ahli harbi, seperti biarawan. Ini tidak ada perselisihannya, namun perselisihannya wanita yang murtad secara khusus.
Dan pendapat Jumhur: itulah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, Sunah dan i’tibar” selesai ucapan Syeikhul Islam (hal 116 dari cetakan Al-Faqi).
Dan beliau rahimahullah membantah pendapat yang lemah ini dalam risalahnya yang lain seperti yang disebutkan dalam risalah ini bagi siapa yang merenungkannya maka tidak ada yang baru!.
Diantaranya yang paling gamblang dan jelas apa yang beliau sebutkan dalam kitab ”As-Siyasah As-Syar’iyyah”, beliau rahimahullah berkata: ”apabila dasar perang yang disyariatkan adalam jihad, dan tujuannya supaya agama seluruhnya milik Allah, dan supaya kalimat Allah yang paling tinggi, maka siapa saja yang menghalanginya boleh diperangi menurut kesepakatan kaum muslimin, adapun yang bukan termasuk golongan yang menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, biarawan, orang tua, orang buta dan sakit3, dan semacamnya, maka menurut jumhur mereka tidak boleh dibunuh kecuali ikut berperang dengan ucapannya atau perbuatannya, meskipun sebagian mereka berpendapat bolehnya membunuh mereka semua hanya karena kekafiran, kecuali wanita dan anak-anak karena mereka harta rampasan bagi kaum muslimin. Pendapat pertama yang benar, karena perang kepada siapa yang memerangi kita jika kita hendak menampakkan agama Allah 4 ” sampai perkataan beliau untuk membantah pendapat lemah tersebut: ”oleh karena itu syariat mewajibkan membunuh orang kafir, dan tidak mewajibkan membunuh mereka yang tertawan, tetapi apabila salah satu dari mereka ditawan dalam perang, atau diluar perang, seperti berada dalam kapal yang mendatangi kita, atau tersesat jalan, atau diambil dengan tipu daya, maka imam memilih yang terbaik, membunuhnya atau memperbudaknya, atau membebaskannya, atau dengan meminta tebusan harta atau jiwa, menurut kebanyakan ulama sebagimana ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunah.
Saya katakan: dalam nas yang penting ini nampak jelas hakikat risalah tersebut, dan menjelaskan bahwa risalah tersebuti disusun untuk membantah pendapat fikih yang lemah ini yang berpendapat boleh membunuh orang kafir karena kekafiran mereka semata tanpa kecuali selain wanita dan anak-anak saja – seperti diatas -, itulah yang dibantah oleh Syeikhul Islam dan beliau menjelaskan letak penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunah baik dalam risalah tersebut atau pada tempatnya dalam kitab ”As-Siyasah As-Syar’iyyah” maupun ditempat lain dalam ”Al-Fatawa” sebagaimana akan datang selanjutnya Insya Allah.
Dan nas ini juga menjelaskan bahwa Syeikhul Islam meskipun membantah pendapat lemah ini beliau tidak mengingkari – seperti sangkaan sebagian – disyariatkannya jihad offensive ! tidak mungkin beliau mengingkarinya, yaitu perkara yang ditetapkan dengan nas-nas dan disepakati oleh ulama6, oleh karena itu beliau – seperti disebutkan sebeumnya – mengatakan: ”maka siapa saja yang menghalanginya boleh diperangi menurut kesepakatan kaum muslimin”. Dan jihad ini hanyalah ”untuk siapa yang memerangi kita jika kita hendak menampakkan agama Allah”.
Diantara tempat yang terdapat bantahan Syeikhul Islam terhadap pendapat fikih yang lemah ini yang sesuai dengan risalah yang dinisbatkan kepada beliau yang ada dalam kitab Al-Fatawa (28/659-661) ketika ditanya tentang biarawan maka beliau menjawab: ”Sesungguhnya dilarang membunuh mereka, karena mereka kaum yang memutuskan hubungan dengan manusia, tertahan di biara-biara, mereka sama sekali tidak menolong penganut agama mereka dalam perkara yang membahayakan kaum muslimin, tidak mencampuri mereka dalam urusan dunia, hanya mencukupkan dengan sekedarnya. Maka ulama berselisih pendapat mengenai bolehnya membunuh mereka, seperti perselisihan mereka mengenai bolehnya membunuh mereka yang tidak membahayakan kaum muslimin baik dengan tangannya maupun lisannya, seperti orang buta dan sakit, orang tua dan semacamnya seperti wanita dan anak-anak. Maka jumhur mengatakan: mereka tidak boleh dibunuh kecuali yang membantu mereka berperang secara umum, juga wanita  dan anak-anak, diantara mereka ada yang berpendapat: tetapi semata karena kekafiran mereka boleh dibunuh, hanya dikecualikan wanita dan anak-anak, karena mereka harta...”. Lihat juga: ”Al-Fatawa” (20/101-103).
Maka tidak ada yang baru dalam risalah yang dinisbatkan kepada Syeikhul Islam! Karena beliau telah banyak memaparkan dalam risalah lainnya dengan penjelasan, seandainya mereka yang kegirangan merenungi risalah beliau akan tahu bahwa dia berada di satu lembah dan Syeikhul Islam di lembah lain.
Dr. Abdullah Al-Qadiri berkata: ”apabila jihad di jalan Allah disyariatkan untuk meninggikan kalimat Allah dan mengeluarkan manusia dari peribadahan kepada hamba kepada peribadahan kepada Allah dan mengangkat kezaliman atas mereka, maka tidak perlu ada perselisihan dalam hal itu: apakah disyariatkan memerangi orang kafir yang berperang atau disyariatkan hanya karena kekafirannya? Karena meninggikan kalimat Allah menghendaki memerangi semua yang menghalanginya dan menghabisi mereka, baik menghalanginya dengan perang atau pendapat, atau dengan cara apapun. Adapun yang tidak menghalanginya yaitu yang masuk agama Allah atau tunduk kepada hukum-Nya lalu membayar jizyah dalam keadaan hina maka dia tidak diperangi atau dipaksa memeluk agama ini sebagaimana yang lalu. Barangkali isyarat ini cukup mewakili bantahan yang ditulis Syeikh Sulaiman bin Abdur Rahman bin Hamdan rahimahullah untuk membantah keaslian risalah yang dinisbatkan kepada Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan judul (Kaedah memerangi orang kafir apakah karena kekafiran mereka atau membela Islam?) dan pengarang telah mengingkari penisbatan risalah ini kepada Ibnu Taimiyah. Yang nampak dari metode risalah tersebut bahwa itu memang milik beliau, karena metode beliau rahimahullah nampak jelas didalamnya, tetapi beliau mengingkari bahwa perang hanya semata karena kekafiran namun untuk meninggikan kalimat Allah yaitu supaya hukum yang menang adalah hukum Allah bukan kekuasaan orang kafir, dan jika orang kafir kalah dan kekuasaan mereka lenyap, dan mereka membayar jizyah dalam keadaan hina, maka ketika itu mereka tidak diperangi karena kekafiran mereka, karena memerangi mereka karena kekafiran menghendaki pemaksaan mereka untuk masuk kedalam Islam, dan ini termasuk pelanggaran yang dilarang Allah. Dan makna memerangi mereka yang berperang menurut beliau rahimahullah yaitu memerangi orang yang mempersiapkan dirinya untuk memerangi kaum muslimin baik secara langsung maupun tidak, dan mereka yang tidak boleh diperangi adalah yang tidak mempersiapkan diri untuk berperang, seperti para biarawan dan orang tua, maka kenapa Syeikh Sulaiman bin Hamdan memaksakan diri untuk mengingkari penisbatan risalah ini kepada Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah? Apabila sebagian kalimat dalam risalah tersebut diingkari maka Syeikhul Islam rahimahullah telah mengutipnya dari sebagian ulama dan beliau tidak menetapkannya karena telah menjelaskan pendapatnya di awal risalah dan di tengahnya, maka tidak perlu lagi menafikan penisbatan risalah tersebut kepada beliau, dimana beliau rahimahullah telah menjelaskan kesimpulan pendapatnya dalam risalahnya As-Siyasah As-Syar’iyyah.
Dr. Ali bin Nufai’ Al-’Alyani berkata: ”penganut pemahaman jihad defensive memaksakan alasan sebagian ulama bahwa memerangi orang kafir karena mereka memerangi sehingga pembaca berpikir bahwa ada ulama Islam yang berpendapat bahwa orang kafir tidak diperangi kecuali jika mereka menyerang kaum muslimin!.
Yang benar adalah bahwa kaum muslimin sebelum penjajah memasuki negeri mereka, mereka tidak mengenal pendapat yang mungkar ini, bahkan ijma’ telah berlaku bagi wajibnya mengejar orang kafir hingga dinegeri mereka sendiri dan memberi mereka tiga pilihan: Islam atau jizyah atau perang – meski ada perbedaan pendapat apakah jizyah diterima dari selain ahli kitab dan majusi.
Para penganut pemahaman jihad defensive tidak memahami maksud sebagian ulama Islam yang menyimpulkan bahwa alasan memerangi orang kafir karena mereka memerangi atau menyerang ataukah mereka sengaja menutupi apa yang mereka pahami.
Dan itu karena ulama yang menyimpulkan alasan memerangi orang kafir karena mereka memerangi atau menyerang menyebutkan secara nas sesuai dengan maksud mereka, yaitu mencari hikmah syar’ie mengapa Allah memerintahkan memerangi setiap orang kafir selain wanita, anak-anak, biarawan, dan lanjut usia, maka mereka mengatakan: seandainya alasan memerangi adalah kekafiran tentu wajib membunuh setiap orang kafir, jadi alasannya adalah kemampuan untuk memerangi dan menyerang, jadi siapapun yang memiliki kemampuan berperang maka termasuk sumber bahaya bagi kaum muslimin, para ulama tidak mengatakan bahwa orang kafir tidak diperangi kecuali jika benar-benar menyerang dan melanggar , seperti pendapat para penganut pemahaman jihad defensive yang merubah nas-nas para ulama supaya nampak bagi manusia bahwa mereka tidak menentang ijma’ dan bahwa ada sekelompok ulama yang berpendapat seperti pendapat mereka !!”
Ustadz Abdul Malik Al-Barrak ketika membantah salah seorang yang menganut paham jihad defensife mengatakan: ”sesungguhnya perbedaan yang terjadi antara jumhur dari satu sisi, dan Imam Syafi’ie dan Adh-Dhahiriyah disisi lain sama sekali bukan pada asal pensyariatan jihad, hikmahnya, sebabnya dan alasannya ... namun perbedaan hanyalah mengenai alasan yang mewajibkan halalnya darah musuh, adapun jumhur berpendapat bahwa tidak boleh dibunuh kecuali yang mampu berperang, adapun yang tidak seperti wanita, anak-anak, lansia, penghuni biara dan semacamnya tidak diperangi, kecuali dalam satu kondisi yaitu dipastikan mereka ikut berperang, berperangnya mereka dengan berbagai cara, seperti andil secara langsung dalam memerangi kaum muslimin, atau dengan pendapat dan musyawarah serta mempersiapkan rencana untuk memerangi Islam dan pemeluknya dan semacamnya...
Adapun Asy-Syafi’ie dan Ibnu Hazam Adh-Dhohiri rahimahumullah mereka menyelisihi jumhur dalam masalah ini, sehingga mereka membolehkan membunuh setiap orang kafir ahli perang kecuali wanita dan anak-anak, meskipun tidak ikut serta dalam perang, baik laki-laki yang baligh atau lansia....oleh karena itu kitab-kitab induk fikih ketika memaparkan perbedaan ini sama sekali tidak menyebutkan bahwa umat telah berselisih diantara mereka dalam hal jihad: apakah ditegakkan atau tidak, atau apakah ada syarat yang harus dipenuhi sehingga kaum muslimin melaksanakan kewajiban jihad!! Bahkan kitab-kitab ini dalam membahas jihad menyebutkan kesepakatan umat atas kewajiban ini dan keutamaannya .....dan merupakan kewajiban yang selalu tegak hingga hari kiamat...kemudian ketika mulai membahas tentang jenis orang-orang kafir yang diperangi ulama menetapkan adanya jenis mereka yang tidak diperangi berdasarkan nas syariat...dan bahwa ini masalah yang diperselisihkan...sebagaimana sebelumnya ...dan perbedaan ini adalah bercabang dari perbedaan ulama mengenai alasan yang mewajibkan halalnya darah musuh-musuh tersebut..”
Saya katakan: yang menegaskan kontradiksi mereka yang mengklaim bahwa Syeikhul Islam menafikan jihad offensive dalam risalah yang dinisbatkan kepada beliau telah mengisyaratkan dalam kitabnya ”Ash-Sharim Al-Maslul” (seperti di hal:144) dan anda ketika merujuk ke kitab ”Ash-Sharim Al-Maslul” mendapati Syeikh menyebut jihad offensive dan tidak menafikannya: ”ketika turun surat Bara’ah (At-Taubah) Nabi shallallahu ’alaihi wasallam diperintahkan untuk memulai perang melawan seluruh orang kafir..”
Kesimpulan: bahwa Syeikhul Islam baik risalah ini terbukti milik beliau atau tidak, maka beliau tidak menafikan jihad offensive untuk memerangi siapa yang menghalangi penyebaran Islam seperti sangkaan sebagian, namun hanya mengingkari pendapat sebagian yang mengatakan bahwa memerangi seluruh orang kafir karena semata kekafiran mereka, sehingga tidak dikecualikan selain wanita dan anak-anak.
(ar/voaislam.com)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan